Sabtu, 21 Juni 2008

psikologi pendidikan

Psikologi adalah ilmu yang luas dan ambisius, dilengkapi oleh biologi pada perbatasannya dengan ilmu alam dan dilengkapi oleh sosiologi dan anthropologi pada perbatasannya dengan ilmu sosial. beberapa kajian ilmu psikologi diantaranya adalah:

Psikologi perkembangan
Adalah bidang studi psikologi yang mempelajari perkembangan manusia dan faktor-faktor yang membentuk prilaku seseorang sejak lahir sampai lanjut usia. Psikologi perkembangan berkaitan erat dengan psikologi sosial, karena sebagian besar perkembangan terjadi dalam konteks adanya interaksi sosial. Dan juga berkaitan erat dengan psikologi kepribadian, karena perkembangan individu dapat membentuk kepribadian khas dari individu tersebut.
Psikologi sosial

mempunyai 3 ruang lingkup, yaitu :

  1. studi tentang pengaruh sosial terhadap proses individu, misalnya : studi tentang persepsi, motivasi proses belajar, atribusi (sifat)
  2. studi tentang proses-proses individual bersama, seperti bahasa, sikap sosial, perilaku meniru dan lain-lain
  3. studi tentang interaksi kelompok, misalnya : kepemimpinan, komunikasi hubungan kekuasaan, kerjasama, persaingan, konflik;
Psikologi kepribadian
Adalah bidang studi psikologi yang mempelajari tingkah laku manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, psikologi kepribadian berkaitan erat dengan psikologi perkembangan dan psikologi sosial, karena kepribadian adalah hasil dari perkembangan individu sejak masih kecil dan bagaimana cara individu itu sendiri dalam berinteraksi sosial dengan lingkungannya.
Psikologi kognitif
Adalah bidang studi psikologi yang mempelajari kemampuan kognisi, seperti: Persepsi, proses belajar, kemampuan memori, atensi, kemampuan bahasa dan emosi.

[sunting] Wilayah Aplikasi Psikologi

Wilayah Aplikasi psikologi adalah wilayah-wilayah dimana kajian psikologi dapat diterapkan. walaupun demikian, belum terbiasanya orang-orang indonesia dengan spesialisasi membuat wilayah aplikasi ini rancu. misalnya, seorang ahli psikologi pendidikan mungkin saja bekerja pada HRD sebuah perusahaan, atau sebaliknya.

Psikologi pendidikan
Psikologi pendidikan adalah perkembangan dari psikologi perkembangan dan psikologi sosial, sehingga hampir sebagian besar teori-teori dalam psikologi perkembangan dan psikologi sosial digunakan di psikologi pendidikan. Psikologi pendidikan mempelajari bagaimana manusia belajar dalam setting pendidikan, keefektifan sebuah pengajaran, cara mengajar, dan pengelolaan organisasi sekolah.
Psikologi sekolah
Psikologi sekolah berusaha menciptakan situasi yang mendukung bagi anak didik dalam mengembangkan kemampuan akademik, sosialisasi, dan emosi.
Psikologi Industri dan Organisasi
Psikologi industri memfokuskan pada menggembangan, mengevaluasi dan memprediksi kinerja suatu pekerjaan yang dikerjakan oleh individu, sedangkan psikologi organisasi mempelajari bagaimana suatu organisasi memengaruhi dan berinteraksi dengan anggota-anggotanya.
Psikologi Kerekayasaan
Penerapan Psikologi yang berkaitan dengan interaksi antara manusia dan mesin untuk meminimalisasikan kesalahan manusia ketika berhubungan dengan mesin (human error).
Psikologi Klinis
Adalah bidang studi psikologi dan juga penerapan psikologi dalam memahami, mencegah dan memulihkan keadaan psikologis individu ke ambang normal.

kehilangan kepercayaan diri

Pede (Percaya Diri)

Bagaimana Menjadi Percaya Diri?
Gabungkan 3M
Semua orang sebenarnya punya masalah dengan istilah yang satu ini "percaya diri (pede)"... ada orang yang telah merasa kehilangan rasa percaya diri dalam hidupnya, terkait dengan krisis diri, tidak berguna, depresi, hilang kendali dll. Ada juga orang yang belum pede dengan apa yang dilakukannya, yang dimilikinya atau apa yang ditekuninya. Ada juga orang yang kurang percaya diri ketika menghadapi situasi atau keadaan tertentu. Berdasarkan praktek hidup, kita bisa mengatakan bahwa yang terakhir itu normal, dalam arti dialami oleh semua orang.
Sebenarnya apa sih yang kita maksud dengan pede itu???
Kalau melihat keliteratur ilmiahnya, ada beberapa istilah yang terkait dengan persoalan pede ini. Di sini saya hanya ingin menyebutka (4) empat saja :
  1. Self-concept : Bagaimana kita menyimpulkan diri kita secara keseluruhan, bagaimana kita melihat potret diri secara keseluruhan, bagaimana kita mengkonsepsikan diri kita secara keseluruhan
  2. Self-esteem : Sejauh mana kita punya perasaan positif teradap diri sendiri, sejauhmana kita punya perasaan tentang sesuatu yang bernilai atau berharga dari diri kita
  3. Self-efficacy : Sejauh mana kita punya keyakinan atas kapasitas yang kita miliki untuk bisa menjalankan tugas atau menangani persoalan dengan hasil yang bagus
  4. Self-confidence : Sejauh mana kita ppunya keyakinan terhadap penilaian kita atas kemampuan kita dan sejauh mana kita bisa merasakan adanya "kepantasan" untuk sil

Berdasarkan itu semua, kita juga bisa membuat semacam kesimpulan bahwa kepercayaan diri itu adalah efek dari 3M... bagaimana kita merasa, meyakini, dan mengetahui. Ketika ini di kaitkan dengan praktek hidup sehari-hari, orang yang memiliki kepercayaan rendah atau telah kehilangan kepercayaan, cenderung merasa / bersikap sebagai berikut :

  • Tidak memiliki sesuatu (keinginan, tujuan, target) yang diperjuangkan secara sungguh-sungguh
  • Tidak memiliki keputusan melangkah yang decissive (mengambang)
  • Mudah frustasi atau give-up ketika menghadapi masalah atau kesulitan
  • Kurang termotifasi untuk maju, malas-malasan atau setengah-setengah
  • Sering gagal dalam menyempurnakan tugas² atau tanggung jawab (tidak optimal)
  • Canggung dalam menghadapi orang
  • Tidak bisa mendemonstrasikan kemampuan berbicara dan mendengar yang meyakinkan
  • Sering memiliki harapan yang tidak realistis
  • Terlalu perfeksionis
  • Terlalu sensitif (perasa)

Sebaliknya orang yang punya rasa percaya diri yang bagus, meraka punya perasaan positif terhadap dirinya, punya keyakinan yang kuat atas dirinya dan punya pengetahuan akurat terhadap kemampuan yang dimiliki. Orang yang punya rasa percaya dir bagus adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya mampu berdasarkan pengalaman dan perhitungan. Berbagai studi dan pengalaman telah menjelaskan bahwa kepercayaan diri seseorang terkait dengan dua hal yang mendasar dalam praktek hidup kita. pertama, kepercayaan diri terkait dengan bagaimana seseorang memeperjuangkan keinginan untuk meraih sesuatu (prestasi dan performansi). kedua, kepercayaan diri terkait dengan kepercayaan seseorang dalam menghadapi masalah yang menghambat perjuangannya. Bagaimana seseorang merumuskan tujuan atau target untuk dirinya, sejauh mana orang memeperjuangkan target itu, sekuat apa orang itu mampu menghadapi masalah yang muncul, dan setangguh apa orang itu bisa menghadapi kegagalan.

Sisi-sisi negatif- Perlu kita waspadai juga bahwa ada sisi² negatif di balik kepercayaan diri yang tinggi. Dan itu perlu kita kelola secara proporsional agar tidak membuahkan sikap dan perilaku yang merugikan atau merusak, di antaranya :

  • Arogansi : Merendahkan orang lain (looking down) karena merasa lebih tinggi atau lebih di atas. Jangan sampai kita merendahkan orang lain, apalagi menghina baik dengan kata² maupun perbuatan
  • Merasa paling benar sendiri dan tidak bisa menerima kebenaran milik orang lain : Selalu merasa paling benar
  • Menolak opini orang lain (stubbornness) : Opini orang lain memang tidak semuanya perlu kita dengarkan tapi juga tidak semuanya perlu kita tolak, ada hal² positif yang bisa kita ambil
  • Memiliki model komunikasi yang agresif, otoriter, bergaya memaksa atau tanpa empati : Model komunikasi demikian kerap menimbulkan kualitas hubungan yang kurang "sincere" di samping juga lebih banyak mengundang konflik, perlawanan atau resistensi. Secara naluri orang akan lebih nyaman bila didekati dengan model komunikasi yang empatik, persuasif
  • Kurang perhitungan terhadap bahaya potensial atau kurang perhatian terhadap hal² yang detail : Berani menghadapi tantangan, punya keyakinan yang tinggi atas kemampuan mengatasi masalah atau berfikir "beyond the technique" itu memang positif dan dibutuhkan. Tetapi jika ini membuat kita menjadi terbiasa menyepelekan, menganggap enteng, sembrono, tentu membahayakan
  • Kurang bisa mempercayai kapasitas orang lain atau terlalu perfeksionis dalam menilai orang lain : Tidak udah mempercayai omongan orang lain atau tidak mudah mempercayai penjelasan orang lain atas kemampuannya sebelum ada bukti² yang nyata, memang ini dibutuhkan. Tetapi akan menjadi masalah jika kita tidak bisa mempercayai orang lain dalam semua hal, tidak bisa mendelegasikan pada orang lain untuk semua pekerjaan, selalu underestimate, selalu ingin menjadi "polisi" atas orang lain, ini akan menyusahkan diri sendiri

Membangun kepercayaan diri- Bagi sebagian kita yang punya masalah seputar rendahnya kepercayaan diri atau merasa telah kehilangan kepercayaan diri, mungkin kita bisa menjadikan langkah² berikut ini sebagai latihan :

  1. Menciptakan definisi diri yang positif- Cara terbaik untuk mengubah sistem keyakinan kita adalah mengubah definisi diri kita. Bagaimana menciptakan definisi positif? pertama, membuat kesimpulan / opini yang positif tentang diri kita. kedua, belajar melihat bagian² positif / kelebihan / kekurangan yang kita miliki. ketiga, membuat dialog dengan diri sendiri tentang hal² positif yang bisa kita lakukan. Selain ketiga tersebut, yang perlu dilakukan adalah menghentikan opini diri negatif yang muncul, misal saya tidak berguna, tidak punya kelebihan apa², saya hanya beban orang tua dan seterusnya. Dan tugas kita adalah menggantinya dengan yang positif, konstruktif dan motivatif
  2. Memperjuangkan keinginan yang positif- Selanjutnya adalah merumuskan program/agenda perbaikan diri. Semisal dengan adanya target baru yang hendak kita capai atau merumuskan langkah² positif yang akan kita lakukan (entah itu kecil ataupun besar). Pada akhirnya kita hanya akan menjadi baik dengan cara melakukan sesuatu yang baik buat kita
  3. Mengatasi masalah secara positif- Pede juga bisa diperkuat dengan cara memberikan bukti kepada diri sendiri bahwa kita ternyata berhasil mengatasi masalah yang menimpa kita. Semakin banyak masalah yang sanggup kita selesaikan, semakin kuatlah pede. Kita akan menjadi orang yang tidak mudah minder ketika menghadapi masalah. Karena itu ada yang mengingatkan, begitu kita sudah terbiasa menggunakan jurus pasrah atau kalah, ini akan menjadi kebiasaan yang membuat kita seringkali bermasalah
  4. Memiliki dasar keputusan yang positif- Kalau di baca dari praktek hidup keseluruhan, memang tidak ada orang yang selalu yakin atas kemampuan dalam menghadapi masalah atau dalam mewujudkan keinginan. Orang yang sekelas Mahatma Gandhi saja sempat goyah ketika tiba² realitas berubah secara tak terduga-duga. Tapi, Gandhi punya cara yang bisa kita tiru "Ketika saya putus asa maka saya selalu ingat bahwa sepanjang sejarah, jalan yang ditempuh dengan kebenaran dan cinta selalu menang"
  5. Memiliki model / teladan yang positif- Yang penting juga adalah menemukan orang lain yang bisa kita contoh dari sisi kepercayaan dirinya. Ini memang menuntut kita untuk sering² membuka mata melihat orang lain yang lebih bagus dari kita dan menjadikannya sebagai teladan. Saking pentingnya orang ini, ada yang mengatakan bahwa kita bisa memperbaiki diri dari dua hal : pertama, pengalaman pribadi (

pemikiran john dewey tentang pendidikan

John Dewey dan Pendidikan
Pembahasan di sini difokuskan pada John Dewey sebagai seorang pendidik, meskipun konsepsi pendidikan yang dirumuskannya sangat kental dengan pemikiran filosofisnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran-pemikiran Dewey banyak berpengaruh pada praktek pendidikan masakini. Seiring itu pula, pemikiran-pemikiran Dewey, banyak memperoleh tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Bagi mereka yang pro, pemikiran Dewey merupakan penyelamat pendidikan Amerika. Sebaliknya, mereka yang tidak sepakat, gagasan Dewey disebutnya sebagai lebih rusak dari gagasan Hitler.John Dewey adalah seorang filsuf dan pendidik, yang lahir tahun 1859 dan meninggal tahun 1952. Sebagai seorang filsuf, aliran filosofinya diklasifikasikan dalam kategori.

Pragmatisme, meskipun Dewey sendiri lebih sering menggunakan istilah instrumentalisme dan eksperimentalisme. Menurut Garforth (1996) filosofi pragmatisme sering diarahkan sebagai filosofi konsekuensi yang menggunakan hasil atau konsekuensi sebagai kriteria dalam keputusan. Inti kebebasan pada Dewey adalah kebebasan inteligensi, dimana kebebasan observasi dan justifikasi dilakukan atas dasar keinginan yang memiliki arti secara intrinsik, yaitu bagian yang dimainkan oleh pikiran dalam belajar. Konsepsi pendidikan sebagai suatu proses sosial diterapkan tidak hanya ke anak di sekolah melainkan juga sekolah dan masyarakat.

Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan Dewey
Pola pemikiran Dewey tentang pendidikan sejalan dengan konsepsi instrumentalisme yang dibangunnya, dimana konsep-konsep dasar pengalaman (experience), pertumbuhan (growth), eksperimen (experiment), dan transaksi (transaction) memiliki kedekatan yang akrab, sehingga Dewey mendeskripsikan filosofi sebagai teori umum pendidikan dan pendidikan sebagai laboran yang di dalamnya perbedaan-perbedaan filosofis menjadi kongkrit dan diuji. Pendidikan dan filosofi saling membutuhkan satu sama lain; dimana tanpa filosofi, pendidikan kering akan arahan inteligensi. Sebaliknya, tanpa pendidikan, filosofi kehilangan implementasi praktis dan menjadi mandul. Pengalaman merupakan basis dari keduanya, di mana pendidikan didefinisikan sebagai rekonstruksi dan reorganisasi dari pengalaman yang memberi tambahan pada arti pengalaman, dan yang meningkatkan kemampuan untuk mengarahkan pengalaman berikutnya. Dalam Pedagogic Creed, Dewey (1897) mendefinisikan itu menjadi lebih singkat, sebagai suatu rekonstruksi yang terus menerus dari pengalaman dan dalam Democracy and Education, Dewey (1961) mendefinisikan pendidikan sebagai penuntun secara intelegensia terhadap pengembangan tentang kemungkinan-kemungkinan yang melekat pada kebiasaan pengalamaan.

aliran filsafat pendidikan.

Epistemologi (Epistemology)

Disebut the theory of knowledge atau teori pengetahuan. Ia berusaha mengidentifikasi dasar dan hakikat kebenaran dan pengetahuan, dan mungkin inilah bagian paling penting dari filsafat untuk para pendidik. Pertanyaan khas epistemologi adalah bagaimana kamu mengetahui (how do you know?). Pertanyaan ini tidak hanya menanyakan tentang apa (what) yang kita tahu (the products) tetapi juga tentang bagaimana (how) kita sampai mengetahuinya (the process). Para epistemolog adalah para pencari yang sangat ulet. Mereka ingin mengetahui apa yang diketahui (what is known), kapan itu diketahui (when is it known), siapa yang tahu atau dapat mengetahuinya (who knows or can know), dan yang terpenting, bagaimana kita tahu (how we know). Mereka adalah para pengawas dari keluasan ranah kognitif manusia.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut didahului dengan pertanyaan dapatkah kita mengetahui (can we know?). Di sini terdapat tiga posisi epistemologis:

Pertama, dogmatism. Aliran ini menjawab: ya, tentu saja kita dapat dan benar-benar mengetahui (we can and do know) – selanjutnya bahkan kita yakin (we are certain). Untuk mengetahui sesuatu kita harus lebih dahulu memiliki beberapa pengetahuan yang memenuhi dua kriteria: certain (pasti) dan uninferred (tidak tergantung pada klaim pengetahuan sebelumnya). Contoh untuk itu: a = a dan keseluruhan > bagian.

Kedua, skepticism. Aliran ini menjawab: tidak, kita tidak benar-benar tahu dan tidak juga dapat mengetahui. Mereka setuju dengan dogmatisme bahwa untuk berpengetahuan seseorang terlebih dahulu harus mempunyai beberapa premis-premis yang pasti dan bukannya inferensi. Tapi mereka menolak klaim eksistensi premis-premis yang self-evident (terbukti dengan sendirinya). Respon aliran ini seolah menenggelamkan manusia kedalam lautan ketidakpastian dan opini.

Ketiga, fallibilism. Aliran ini menjawab bahwa kita dapat mengetahui sesuatu, tetapi kita tidak akan pernah mempunyai pengetahuan pasti sebagaimana pandangan kaum dogmatis. Mereka ini hanya mengatakan mungkin (possible), bukan pasti (certain). Manusia hanya akan puas dengan pengetahuan yang reliable, tidak pernah 100% yakin. Tidak ada yang dapat diverifikasi melampaui posibilitas-posibilitas dari keraguan yang mencakup suatu pernyataan tertentu. Inilah yang dikenal dengan istilah “doubting Thomas” yang yakin bahwa kita selalu berhubungan dengan posibilitas-posibilitas dan probabilitas-probabilitas (pengetahuan) dan tidak pernah dengan kepastian-kepastian. Filosofi fallibilistik ini memandang sains senantiasa berada dalam gerak (posture) dan tidak diam. Belajar pengetahuan selalu bersifat terbuka untuk berubah dan bukannya final, bersifat relatif dan bukannya absolut, bersifat mungkin daripada pasti. Moda kerja aliran ini mengkaji pergeseran-pergeseran, melakukan cek dan re-cek, sekalipun hasil yang dicapai selalu saja akan bersifat tentatif.

Para filsuf kontemporer dengan pengecualian beberapa eksistensialis, percaya bahwa kita (manusia) memang dapat mengetahui, tetapi bagaimana?

Idealisme menjawab bahwa pengetahuan itu terdiri dari ide. Ide adalah produk akal (the mind) atau hasil dari proses-proses mental dari intuisi dan penalaran. Intuisi –jika bukan nalar—dapat meraih pengetahuan yang pasti. Analogi yang dipakainya adalah analogi garputala.

Realis klasik menjawab bahwa daya rasional dari akal mengurai kode pengalaman dan merajut darinya kebenaran. Pengetahuan kita tentang dunia eksternal hadir melalui penalaran terhadap laporan-laporan observasi. Sekalipun laporan tersebut dari waktu ke waktu sering menipu ktia, kita dapat selalu bersandar pada nalar kita dan percayalah bahwa pengetahuan pasti itu ada, kebenaran absolut itu ada, dan kita bisa menemukannya.

Kaum Thomis menjawab agar kita meletakkan kepercayaan pada wahyu sebagaimana pada nalar. Bagi mereka ada kebenaran yang ditemukan (truth finding) dan kebenaran yang diberikan (truth living). Adapun orang yang bijak adalah orang yang mampu mengambil manfaat dari keduanya. Aliran ini secara epistemologis bersifat dogmatis.

Sementara kaum realis modern, pragmatis, empirisis logis, atau naturalis mengambil tesis falibilistik bahwa pengetahuan adalah bersifat kontingen dari perubahan serta kebenaran bersifat relatif sesuai dengan kondisinya.

Dari sini, epistemologi adalah bidang tugas filsafat yang mencakup identifikasi dan pengujian kriteria pengetahuan dan kebenaran. Pernyataan kategoris yang menyebutkan bahwa “ini kita tahu” atau “ini adalah kebenaran” merupakan pernyataan-pernyataan yang penuh dengan makna bagi para pendidik karena sedikit banyak hal tersebut bertaut dengan tujuan pendidikan yang mencakup pencarian pengetahuan dan perburuan kebenaran.

Beberapa pandangan tentang konsep pendidikan:

(1) Pendidikan sebagai manifestasi (education as manifestation).

Dengan analogi pertumbuhan bunga atau benih, dikatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses untuk menjadikan manifes (tampak aktual) apa-apa yang bersifat laten (tersembunyi) pada diri setiap anak.

(2) Pendidikan sebagai akuisisi (education as acquisition)

Dengan analogi spon, pendidikan digambarkan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam memperoleh (menyerap) informasi dari lingkungannya.

(3) Pendidikan sebagai transaksi (education as transaction)

Dengan analogi orang Eskimo di Baffin Bay yang “berinteraksi” (work together) dengan bebatuan yang ada di lingkungannya untuk membuat rumah batu (stone sculpture) yang secara organic sesuai dengan materialnya dan selaras dengan kemampuan pembuatnya. Pendidikan adalah proses memberi dan menerima (give and take) antara manusia dengan lingkungannya. Di sana seseorang mengembangkan atau menciptakan kemampuan yang diperlukan untuk memodifikasi atau meningkatkan kondisinya dan juga lingkungannya. Sebagaimana pula di sana dibentuk perilaku dan sikap-sikap yang akan membimbing pada upaya rekonstruksi manusia dan lingkungannya.

Filsafat dan pendidikan berjalan bergandengan tangan, saling memberi dan menerima. Mereka masing-masing adalah alat sekaligus akhir bagi yang lainnya. Mereka adalah proses dan juga produk.

(1) Filsafat sebagi proses (philosophy as process)

Filsafat sebagai aktivitas berfilsafat (the activity of philosophizing). Tercakup di dalamnya adalah aspek-aspek: (a) analisis (the analytic), yakni berkaitan dengan aktivitas identifikasi dan pengujian asumsi-asumsi dan criteria-kriteria yang memandu perilaku. (b) evaluasi (the evaluative), berkaitan dengan aktivitas kritik dan penilaian tindakan. (c) spekulasi (the speculative), berhubungan dengan pelahiran nalar baru dari nalar yang ada sebelumnya. (d) integrasi (the integrative), yakni konstruksi untuk meletakkan bersama atau mempertautkan kriteria-kriteria atau pengetahuan atau tindakan yang sebelumnya terpisah menjadi utuh.

Jadi, proses filosofis itu membangun dinamika dalam perkembangan intelektual.

(2) Filsafat sebagai produk (philosophy as product)

Produk dari aktivitas berfilsafat adalah pemahaman (understanding), yakni klarifikasi kata, ide, konsep, dan pengalaman yang semula membingungkan atau kabur sehingga bisa menjadi jernih dan dapat dimanfaatkan untuk pencarian pengetahuan lebih lanjut. Filsafat dengan “P” capital adalah suatu bangun pemikiran yang secara internal bersifat konsisten dan tersusun dari respon-respon yang dibuat terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam proses berfilsat. Pertama-tama, Filsafat memang tampak sebagai suatu jawaban, posisi sikap, konklusi, ringkasan akhir, dan juga rencana final.

kenakalan remaja

Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja para pelakunya. Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungan, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri, dan sebagainya.

Mengatasi kenakalan remaja, berarti menata kembali emosi remaja yang tercabik-cabik itu. Emosi dan perasaan mereka rusak karena merasa ditolak oleh keluarga, orang tua, teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses perkembangan jiwa remaja tersebut. Trauma-trauma dalam hidupnya harus diselesaikan, konflik-konflik psikologis yang menggantung harus diselesaikan, dan mereka harus diberi lingkungan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya. Pertanyaannya : tugas siapa itu semua ? Orang tua-kah ? Sedangkan orang tua sudah terlalu pusing memikirkan masalah pekerjaan dan beban hidup lainnya. Saudaranya-kah ? Mereka juga punya masalah sendiri, bahkan mungkin mereka juga memiliki masalah yang sama. Pemerintah-kah ? Atau siapa ? Tidak gampang untuk menjawabnya. Tetapi, memberikan lingkungan yang baik sejak dini, disertai pemahaman akan perkembangan anak-anak kita dengan baik, akan banyak membantu mengurangi kenakalan remaja. Minimal tidak menambah jumlah kasus yang ada."

PSIKOLOGI PERKEMBANGAN REMAJA

Fase remaja merupakan masa perkembangan individu yang sangat penting. Harold Alberty (1957) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan suatu periode dalam perkembangan yang dijalani seseorang yang terbentang sejak berakhirnya masa kanak-kanak sampai dengan awal masa dewasa. Conger berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa yang amat kritis yang mungkin dapat erupakan the best of time and the worst of time.

Kita menemukan berbagai tafsiran dari para ahli tentang masa remaja :

  • Freud menafsirkan masa remaja sebagai suatu masa mencari hidup seksual yang mempunyai bentuk yang definitif.Charlotte Buhler menafsirkan masa remaja sebagai masa kebutuhan isi-mengisi.Spranger memberikan tafsiran masa remaja sebagai masa pertumbuhan dengan perubahan struktur kejiwaan yang fundamental.
  • Hofmann menafsirkan masa remaja sebagai suatu masa pembentukan sikap-sikap terhadap segala sesuatu yang dialami individu.
  • G. Stanley Hall menafsirkan masa remaja sebagai masa storm and drang (badai dan topan).

artikel pendidikan

Pendidikan Bermutu di tengah Pentas Budaya Instan



Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.



Zaman sudah berubah. Semua orang maunya serba cepat. Jadinya, cenderung mengabaikan proses tapi ingin segera mendapat hasil. Apalagi di negara dengan etos kerja rendah seperti Indonesia. Akibatnya, budaya instan mulai masuk ke setiap kehidupan kita. Hidup di zaman modern seperti sekarang ini segala sesuatu dapat kita dapatkan dengan mudah, praktis dan cepat. Kemajuan teknologi telah memanjakan kita. Mau ngobrol dengan rekan atau saudara yang bermukim di belahan dunia lain, tinggal angkat telepon atau buka internet. Ingin belanja atau makan di restoran tapi malas keluar, tinggal pesan lewat telepon atau beli lewat situs. Mau transaksi —transfer uang, bayar listrik, kartu kredit, beli pulsa— tidak perlu susah-susah ke bank atau ATM. Semua bisa dilakukan lewat handphone. Bagi cewek-cewek yang ingin rambut panjang tidak perlu harus menunggu sampai berbulan-bulan. Cukup tunggu ½ jam saja dengan teknik hair extension, rambut bisa panjang sesuai keinginan.



Maklum, orang makin sibuk. Malas direpotkan dengan hal-hal ribet. Maunya serba instan. Salahkah itu?, selama masih mengikuti hukum alam, serba instan itu sah-sah saja. “Hidup yang baik dan sukses adalah hidup yang sesuai dengan proses alam”. Sampai level tertentu teknologi bisa kita pakai untuk mempercepat hal-hal yang bisa dipercepat sesuai hukum alam. Kemajuan teknologi dan tuntutan zaman, memungkinkan kita mendapatkan sesuatu serba cepat. Tetapi tidak asal cepat. Kualitas harus tetap terjaga. “Padi 100 hari baru panen itu bagus”. Tapi ingat itu ada yang bisa dipercepat. Mestinya, hasilnya harus lebih baik. Jadi, cepat, baik dan bermutu harus berlangsung bersama.



Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Mendapatkan sesuatu dengan mudah membuat orang enggan bersusah payah. Tak mau melewati proses. Alias malas. Yang penting cepat !. Bermutu atau tidak, itu urusan nanti. Berorientasi hanya pada hasil. Proses tidak penting. Parahnya, “virus” itu sudah menyebar ke berbagai aspek kehidupan. Ingin sukses dengan cara instan. Jadilah, banyak orang korupsi, punya gelar palsu, beli skripsi, ijazah aspal, asal lulus, cepat kaya lewat penggandaan uang dan lain sebagainya. Kalau memang berat, membosankan dan ketinggalan zaman mengapa kita harus bermutu? Kalau ada cara cepat yang memberi hasil, mengapa tidak dicoba?. Lebih lanjut, sekarang ini sudah terjadi pergeseran nilai di masyarakat. Orang makin individualis dan cenderung melecehkan hak orang lain. Untuk mengejar kesuksesannya, orang tak ragu-ragu mengorbankan orang lain.



Pendidikan Cenderung Dibisniskan.



Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan perguruan tinggi kita untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar gelar untuk prestise. Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup memprihatinkan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak sehat.



Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas ?. Bahkan ada beberapa PTS di Jakarta yang memainkan range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika selesai ujian akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus alias IP/IPK nasakom. Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Dalam hal ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi pelayanan pendidikan yang berkualitas. Kopertis, harus bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang melanggar dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PTS. Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan.

Tantangan Lulusan Sarjana di Era Informasi.



Ketika para sarjana memadati berbagai arena bursa kerja untuk menawarkan ilmu dan ijazah mereka, iklan-iklan penerimaan mahasiswa baru juga nyaris memenuhi halaman-halaman surat kabar. Dua fenomena tersebut ironis. Promosi Perguruan Tinggi untuk menjaring calon mahasiswa sama "gencarnya" dengan peningkatan pengangguran lulusan. Di sisi lain, perlu diajukan pertanyaan, kualifikasi apakah sebenarnya yang disyaratkan oleh para pencari tenaga kerja lulusan sarjana Perguruan Tinggi ini ?



Jawaban yang diperoleh para peneliti umumnya adalah campuran kualitas personal dan prestasi akademik. Tetapi pencari tenaga kerja tidak pernah mengonkretkan, misalnya, seberapa besar spesialisasi mereka mengharapkan suatu program studi di Perguruan Tinggi. Kualifikasi seperti memiliki kemampuan numerik, problem-solving dan komunikatif sering merupakan prediksi para pengelola Perguruan Tinggi daripada pernyataan eksplisit para pencari tenaga kerja. Hasil survei menunjukkan perubahan keinginan para pencari tenaga kerja tersebut adalah dalam hal kualifikasi lulusan Perguruan Tinggi yang mereka syaratkan.



Tidak setiap persyaratan kualifikasi yang dimuat di iklan lowongan kerja sama penting nilainya bagi para pencari tenaga kerja. Dalam prakteknya, kualifikasi yang dinyatakan sebagai "paling dicari" oleh para pencari tenaga kerja juga tidak selalu menjadi kualifikasi yang "paling menentukan" diterima atau tidaknya seorang lulusan sarjana dalam suatu pekerjaan.



Yang menarik, tiga kualifikasi kategori kompetensi personal, yaitu kejujuran, tanggung jawab, dan inisiatif, menjadi kualifikasi yang paling penting, paling dicari, dan paling menentukan dalam proses rekrutmen. Kompetensi interpersonal, seperti mampu bekerja sama dan fleksibel, dipandang paling dicari dan paling menentukan. Namun, meskipun sering dicantumkan di dalam iklan lowongan kerja, indeks prestasi kumulatif (IPK) sebagai salah satu indikator keunggulan akademik tidak termasuk yang paling penting, paling dicari, ataupun paling menentukan.



Di sisi lain, reputasi institusi Pendidikan Tinggi yang antara lain diukur dengan status akreditasi program studi sama sekali tidak termasuk dalam daftar kualifikasi yang paling penting, paling dicari, ataupun paling menentukan proses rekrutmen lulusan sarjana oleh para pencari tenaga kerja.



Ada kecenderungan para pencari tenaga kerja "mengabaikan" bidang studi lulusan sarjana Dalam sebuah wawancara, seorang kepala HRD sebuah bank di Cirebon menegaskan, kesesuaian kualitas personal dengan sifat-sifat suatu bidang pekerjaan lebih menentukan diterima atau tidaknya seorang lulusan Perguruan Tinggi. Misalnya, posisi sebagai kasir bank menuntut kecepatan, kecekatan, dan ketepatan. Maka, lulusan sarnaja dengan kualitas ini punya peluang besar untuk diterima meskipun latar belakang bidang pendidikannya tidak sesuai. Kepala HRD itu mengatakan, "Saya pernah menerima Sarjana Pertanian dari Bogor sebagai kasir di bank kami dan menolak Sarjana Ekonomi manajemen dari Bandung yang IPK-nya sangat bagus."



Kualifikasi-kualifikasi yang disyaratkan dunia kerja tersebut penting diperhatikan oleh pengelola Perguruan Tinggi untuk mengatasi tidak nyambung-nya antara Perguruan Tinggi dengan dunia kerja dan pengangguran lulusan. Jika pembenahan sistem seleksi mahasiswa baru dimaksudkan untuk menyaring mahasiswa sesuai kompetensi dasarnya, perhatian pada kualifikasi yang dituntut pasar kerja dimaksudkan sebagai patokan proses pengolahan kompetensi dasar tersebut. Untuk itu semua, kerja sama Perguruan Tinggi dan dunia kerja adalah perlu.